Social commerce atau belanja online lewat jejaring sosial semakin diminati oleh banyak warga dunia. Di AS, sekitar 30 persen pengguna internet mengaku sudah pernah berbelanja di platform sosial. Namun, angka ini tak seberapa jika dibandingkan dengan Tiongkok dimana social commerce berkontribusi lebih dari 50 persen pasar retail di negara tersebut.
Pun begitu di Indonesia dimana social commerce menyumbang sekitar 45 persen penjualan dari seluruh pasar e-commerce. Melihat fenomena ini, kira-kira tren social commerce seperti apa yang akan terjadi pada tahun 2023? Berikut sepuluh di antaranya.
Teknologi AR Kian Diminati
Pengguna media sosial tentu sudah sangat akrab dengan penerapan teknologi AR (Augmented Reality). Contoh paling mudahnya adalah fitur filter pada jejaring sosial Instagram, Snapchat, dan TikTok.
Filter ini juga dapat dimanfaatkan oleh pebisnis untuk menunjukkan cara pemakaian produk mereka. Tak hanya itu, filter AR juga memungkinkan konsumen untuk mencoba produk suatu merek secara virtual.
Salah satu brand yang sudah mengadopsi penggunaan filter AR adalah L’Oréal. Bekerja sama dengan Facebook, merek kosmetik tersebut menghadirkan fitur virtual try-on makeup di Instagram. Artinya, konsumen bisa menjajal produk kosmetik secara virtual layaknya mencobanya secara langsung sebelum memutuskan untuk membeli.
Menurut Sue Young, kepala Spark AR Facebook, penggunaan AR pada platform social commerce dapat meningkatkan pengalaman berbelanja. Pada fitur try-on misalnya, konsumen akan merasa lebih yakin dengan produk yang dipilih setelah mencobanya secara virtual.
Penerapan AR juga membuat kegiatan belanja lebih praktis. Pasalnya, konsumen tak perlu datang langsung ke toko offline untuk menjajal produk. Mulai dari memilih produk, menjajalnya, hingga membelinya, semua cukup dilakukan lewat smartphone.
Konten Video Semakin Banyak
Menurut riset Shopify, sekitar 88 persen pengguna internet lebih tertarik dengan suatu produk jika dipasarkan dalam bentuk video. Kecenderungan ini erat kaitannya dengan konten video yang kini merajai hampir semua jejaring sosial.
Coba lihat saja bagaimana para raksasa media sosial berbondong-bondong menawarkan serangkaian fitur baru untuk mendukung pembuatan konten video. Hal ini tentunya juga membawa angin segar bagi para brand retail dalam upaya meningkatkan penjualan dan membangun merek.
TikTok, sebagai platform khusus video, merupakan lakon utama dibalik meledaknya konten video. Tren ini pula yang memengaruhi perilaku konsumen dalam berbelanja online. Mereka lebih tertarik dengan brand yang memasarkan produk dalam bentuk video pendek.
Selain TikTok, Instagram juga menawarkan fitur video pendek yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang aktivitas social commerce. Terlepas dari platform yang digunakan, ketahuilah bahwa tak semua pengguna sudah tahu caranya berbelanja langsung dari video yang ditonton. Sebab itu, Anda harus tahu bagaimana caranya membuat video yang bisa mengikat calon konsumen.
Cobalah fokus pada satu atau dua produk tertentu dan tunjukkan kelebihan atau cara pemakaian produk tersebut dalam bentuk video. Saat membuat video, selalu pertimbangkan interaktivitas. Caranya dengan memasukkan kalimat-kalimat ajakan yang bisa mendorong penonton untuk membeli.
NFT Sebagai Community Builder
NFT (Non-Fungible Token) merupakan jenis aset digital yang digemari banyak investor sepanjang tahun 2021. Pada tahun 2022, NFT menjadi semakin mainstream hingga menimbulkan banyak perdebatan mengenai penggunaan, regulasi, dan volatilitas pasar aset ini.
Meski demikian, tak ada salahnya bagi brand yang menerapkan social commerce untuk menilik kelebihan dari NFT. Aset digital ini dianggap bisa menjadi community builder. Maksudnya, NFT dapat membangun hubungan antara pelanggan dan perusahaan serta meningkatkan loyalitas konsumen.
Salah satu brand yang sudah menggunakan NFT dalam perdagangan adalah Robert Mondavi. Pabrik anggur asal California ini meluncurkan koleksi anggur terbatas yang dapat dilacak melalui teknologi blockchain. Setiap pembelinya akan mendapatkan akses eksklusif ke pabriknya langsung.
Produk NFT memang biasanya dibuat dalam jumlah terbatas. Begitu habis, brand tidak akan memproduksi barang yang sama lagi. Eksklusifitas inilah yang dapat dijadikan alat untuk menarik calon konsumen membeli produk berbasis NFT.
Micro-influencer Membantu Menjangkau Target Pasar
Berkolaborasi dengan micro-influencer memang sudah bukan hal baru lagi, namun masih tetap relevan dilakukan pada tahun 2023. Bagi bisnis kecil, micro-influencer mungkin dapat membuat anggaran pemasaran membengkak walaupun bisa membantu menjangkau target pasar yang lebih luas.
Influencer besar dengan ribuan hingga jutaan pengikut memang tidak bisa dibilang terjangkau bagi bisnis kecil. Sebab itulah banyak pemilik usaha kecil lebih memilih bekerja sama dengan micro-influencer karena bayarannya lebih rendah.
Selain dari aspek biaya, micro-influencer umumnya memiliki pengikut yang sesuai dengan target pasar. Bagi pengguna media sosial, jenis influencer seperti ini dianggap lebih autentik dalam mengiklankan produk. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan akun-akun dengan jutaan pengikut.
Tak hanya itu, micro-influencer juga memiliki tingkat engagement yang lebih tinggi. Melansir laporan HypeAuditor, influencer dengan pengikut dibawah 5.000 memiliki tingkat engagement sebesar 5 persen. Angka ini diperkirakan akan menurun seiring dengan bertambahnya jumlah pengikut.
Namun perlu diingat bahwa keefektifan strategi pemasaran lewat influencer juga tergantung pada target pasar Anda. Biasanya konsumen pada rentang usia 17 hingga 24 tahun (generasi Z) cenderung lebih tertarik dengan produk-produk yang diiklankan oleh influencer.
UGC Membangun Kepercayaan Konsumen
UGC (User Generated Content) adalah bentuk konten video, tulisan, maupun foto yang dibuat oleh konsumen. Pada aktivitas social commerce, UGC dapat memengaruhi tindakan konsumen saat berbelanja.
Seperti yang sudah Anda ketahui, konsumen tidak bisa mencoba produk secara langsung saat berbelanja online. Namun mereka bisa mengetahui seperti apa produk yang akan dibeli dari video atau foto ulasan dari konsumen lain.
Melansir riset Nosto, sekitar 79 persen orang menyampaikan bahwa UGC sangat berperan dalam keputusan berbelanja mereka. Pasalnya, konten yang paling berpengaruh bukanlah konten yang dibuat layaknya iklan, melainkan konten asli dari konsumen yang sudah membeli.
Survei lain juga menyampaikan bahwa 56 persen konsumen lebih mengutamakan konten foto dan video asli dari pembeli lain. Bukan konten promosi dari brand pembuat produk yang akan dibeli.
Sebagai contoh merek pakaian Lulus yang rutin mengunggah foto asli orang yang memakai produk mereka di Instagram. Brand ini juga menyertakan tagar #lovelulus pada profil akun Instagram resmi mereka.
Tujuan dari tagar ini adalah untuk mendorong konsumen agar membagikan gambar produk yang sudah mereka beli. Selanjutnya, foto-foto tersebut bisa diunggah kembali oleh penjual sebagai salah satu bentuk UGC. Bagi calon konsumen, keberadaan tagar seperti ini dapat mempermudah mereka dalam memilih produk yang ingin dibeli.
Demikianlah tren social commerce yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2023. Selain kelima poin di atas, masih ada tren social commerce lainnya yang perlu Anda ketahui. Silakan klik di sini untuk menyimak seperti apa aktivitas social commerce pada tahun mendatang.