Tak ada satu pun sektor industri yang tak terkena dampak pandemi COVID-19. Salah satunya industri Consumer Packaged Goods (CPG) atau Barang Kemasan Konsumen dimana kerugian masif tak bisa dihindari. Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan terpaksa merumahkan pegawainya. Namun ada juga perusahaan yang justru mengalami peningkatan penjualan.
Kondisi pandemi yang tak pasti membuat para pemain CPG terombang-ambing ke arah yang tak pasti. Sebagai produsen barang konsumen yang selalu dicari, mereka akhirnya merambah ke pasar digital. Tak sedikit pula dari mereka yang melakukan investasi besar-besaran pada platform e-commerce.
Riset di AS juga menunjukkan bahwa konsumen senang menggunakan layanan food e-commerce atau jasa pesan-antar produk makanan. Sekitar 28 persen penduduk AS bahkan pernah memesan bahan pokok secara online setidaknya sebulan sekali. Pun begitu di Indonesia di mana nilai transaksi layanan ini mencapai Rp78,4 triliun pada 2021.
Apa Itu Food E-Commerce?
Istilah food e-commerce memang masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia meskipun sebenarnya sudah pernah memakai layanan ini. Food e-commerce merupakan bisnis penjualan produk makanan dan minuman melalui toko online dan beberapa juga lewat toko fisik. Di Indonesia, layanan ini disebut dengan online food delivery (OFD).
Tak seperti e-commerce lainnya, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam bisnis food e-commerce. Misalnya saja di Amerika Serikat di mana penjual harus memperhatikan transparansi, pengolahan, komposisi, serta pelabelan alergen pada produk.
Menurut survei, sekitar 32 juta penduduk Amerika Serikat memiliki alergi makanan. Artinya, pelaku food e-commerce bisa dikenai sangsi bila tidak mencantumkan label alergen pada produk yang dijual.
Berbeda dengan Indonesia di mana penyedia layanan OFD tidak mengharuskan mitranya untuk mencantumkan komposisi produk atau bahkan label alergen. Namun bukan berarti tak ada regulasi yang harus dipatuhi. Setiap penyedia layanan OFD memiliki peraturannya masing-masing, seperti surat izin bagi mitra yang ingin menjual makanan/minuman beralkohol.
Seberapa Besar Industri Food E-Commerce Saat Ini?
Pada 2021, tepatnya saat pandemi masih belum mereda, pasar CPG global bernilai sekitar 2 triliun dolar AS. Para analis juga memprediksi bahwa industri CPG akan mengalami pertumbuhan tahunan majemuk sekitar 2,9 persen dari tahun 2022 hingga 2028.
Lebih lanjut, pasar CPG juga diperkirakan bisa meraup sekitar 2,5 triliun dolar AS pada 2028 mendatang. Pada 2020, sektor CPG online didominasi oleh kategori bahan makanan dengan menyumbang sekitar 44 persen dari seluruh layanan CPG atau food e-commerce. Data ini diperoleh dari NielsenIQ selaku perusahaan di bidang riset pemasaran.
Tren tersebut terus berlanjut hingga 2021 dimana transaksi kebutuhan pokok secara online mencapai 97,7 dolar AS dari seluruh total penjualan. Sebab, lebih dari 70 persen rumah tangga di AS pada saat itu melakukan lebih dari satu kali transaksi karena dampak pandemi.
Di Indonesia juga demikian dimana layanan OFD menjadi penyelamat UMKM dan masyarakat yang beraktivitas dari rumah di kala pandemi. Klaim ini didukung dengan laporan KataData yang mencatat bahwa transaksi OFD di Indonesia mencapai 4,6 miliar dolar AS sepanjang tahun 2021.
Sekitar 49 persen dari angka tersebut merupakan pengguna layanan GrabFood. Diikuti oleh layanan OFD asli Indonesia, yakni GoFood dengan sebanyak 43 persen dan sekitar 8 persen dari pengguna ShopeeFood.
Dampak Pandemi Pada Food E-Commerce
Selama 40 tahun terakhir, terutama saat krisis keuangan global pada 2008-2009, industri CPG menjadi penggerak bangkitnya industri-industri lain. Khususnya industri yang bergerak di sektor produksi makanan dan minuman.
Kebangkitan produsen makanan dan minuman dipimpin oleh merek-merek global, seperti Coca-Cola, Lipton, dan Doritos. Merek-merek tersebut terus mendominasi pasar dengan menerapkan berbagai strategi. Di antaranya seperti mengandalkan daya tarik pasar yang cenderung menyukai merek ternama, membangun kemitraan, dan distribusi melalui toko-toko fisik.
Namun zaman terus berubah dan model industri CPG baru pun terus bermunculan. Jauh sebelum krisis pandemi, sejumlah perusahaan CPG di AS sudah kehilangan pasar sebesar 1,5 persen per tahun dari tahun 2017 hingga 2019. Di sisi lain, merek-merek kecil justru mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen pada periode yang sama berkat adanya food e-commerce.
Pandemi memang merugikan, namun di satu sisi juga menguntungkan bagi industri makanan dan minuman yang mau menjajal tren food e-commerce. Pasalnya, banyak orang yang pada saat itu tidak bisa keluar rumah. Alhasil, mereka harus beralih ke e-commerce untuk membeli kebutuhan pokok.
Menurut survei McKinsey & Company, sebanyak 76 persen responden beralih ke merek baru atau cara berbelanja baru (via e-commerce) selama pandemi. Sementara, 66 persen di antaranya diperkirakan akan tetap memilih merek baru tersebut bahkan setelah pandemi usai.
Indonesia juga mengalami tren serupa. Menurut riset Universitas Prasetiya Mulya dan Tenggara Strategics, layanan OFD di Indonesia tidak akan sepi peminat meski pandemi telah usai. Dari riset ini diketahui bahwa GoFood merupakan layanan pilihan utama konsumen dengan nilai transaksi mencapai sekitar Rp30,65 triliun pada 2022.
Posisi kedua ditempati oleh ShopeeFood dari Shopee dengan nilai transaksi sebesar Rp24,69 triliun. Selanjutnya, posisi ketiga adalah GrabFood yang sebelumnya menempati posisi pertama pada 2021, yakni dengan total transaksi sebesar Rp20,93 triliun.
Ketiga pemain utama layanan OFD tersebut akan terus digunakan masyarakat Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna smartphone. Semua ini berkat situasi pandemi meskipun kerugian yang ditimbulkan tetap tidak bisa dipandang sebelah mata.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, industri CPG juga terkena dampak negatif pandemi. Berikut penjelasan lengkapnya:
1. Masalah distribusi dan kekurangan staf
Saat krisis pandemi, industri CPG mengalami masalah kekurangan pegawai dan kesulitan distribusi. Reuters melaporkan bahwa masalah ini masih berlanjut bahkan hingga sekarang. Di AS, distributor terpaksa harus menaikkan biaya pengiriman barang dari 7.000 menjadi 22.000 dolar AS.
2. Banyak lowongan kerja tidak terisi
Masih di pasar AS, lebih dari 120.000 lowongan di industri CPG tidak terisi sejak pandemi. Bahkan banyak supermarket di AS saat ini yang hanya memperkerjakan sekitar 50 persen dari seluruh karyawan mereka.
3. Inflasi dan tantangan rantai pasokan global
Terlepas dari tingginya tingkat permintaan produk makanan dan minuman, inflasi dan masalah rantai pasokan mengancam kesuksesan para pemain retail. Menurut survei dari para eksekutif rantai pasokan AS, masalah rantai pasokan global ini diperkirakan akan terjadi selama beberapa tahun. Sementara separuh dari mereka memprediksi masalah global ini akan berakhir pada 2024.
Brand Kecil Menguasai Pasar Food E-Commerce
Para pemain di industri CPG yang tanggap terhadap perubahan pasar pasti dapat bertahan di tengah masihnya perubahan kebiasaan konsumen. Dengan begitu, mereka tidak akan kalah saing dari brand-brand kecil yang sukses memanfaatkan tren food e-commerce.
Merek-merek kecil berhasil memenangkan persaingan karena aktif membangun merek yang relevan dengan target pasar. Mereka juga menyusun strategi pemasaran dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumen. Untuk itu, sudah sewajarnya merek-merek besar juga ikut terjun ke kegiatan food e-commerce demi keberlangsungan industri.